Inspirasi untuk kehidupan

Hidup tidak selalu mudah. Kadang kita tersandung dan jatuh. Halangan dan cobaan senantiasa ada dalam kehidupan. Tapi semua hambatan itu tak harus dianggap sebagai rasa sakit semata, tapi juga proses pembelajaran yang bernilai tinggi. Blog ini merupakan curahan pikiran saya tentang hidup, karir, bisnis, dan apapun yang lazim terjadi dalam kehidupan seorang manusia, entah dia seorang entrepreneur, karyawan, Ibu Rumah tangga atau siapapun.

Thursday, March 20, 2008

Teori Relatiftas dan Produktifitas Waktu


Semua orang pasti sudah tahu bahwa waktu adalah berharga. (Aku malas mengucapkan pepatah klise itu). Waktu memiliki keunikan yang umumnya tidak disadari oleh banyak orang Semua tahu bahwa waktu tidak dapat disimpan (diakumulasi) agar dapat digunakan lagi keesokan harinya. . Waktu tidak pernah berhenti (tidak se-per-nano detik pun). waktu terdistribusi dengan adil dan merata alokasinya bagi semua orang, tak perduli usia, jenis kelamin atau status sosialnya. Semua mendapat jatah yang sama.

Tetapi kendati sesederhana itu sifat alamiah waktu, banyak juga yang tidak mengerti “Hukum relatifitas waktu”. Maaf, saya tidak ingin menjadi sepintar Einstein dengan Teori Relatifitas-nya atau Stephen Hawking dengan Theory of Everything-nya, saya cuma ingin menyebutnya “teori relativitas waktu”. (Jadi sah-sah saja bila ada yang protes atau keberatan.) Dalam fiksi ilmiah seperti Heroes atau QuantumLeap digambarkan bahwa teknologi manusia kelak mampu “melipat” time and space continum,dan menciptakan “worm hole” yang memungkinkan orang maju atau mundur dalam ruang dan waktu, namun faktanya hingga kini belum ada ynag mampu melakukannya. Menurut saya kendati waktu tergolong “kaku”, karena tidak dapat dilipat atau dibengkokkan, namun waktu memiliki “kelenturan” dalam relativitas dalam nilai-nya, relatif terhadap orang yang berbeda. Contoh sederhananya begini, bagi seorang decision maker di sebuah perusahaan papan atas maka 1 (satu) atau 2(dua) menit selisih waktu akan bernilai untung atau rugi trilyunan rupiah. Pada saat (dan alokasi waktu yang sama) bagi seseorang yang lain (misalnya, maaf, seorang pemulung) 1 (satu) atau 2 (dua) menit yang sama tersebut bisa dibilang relatif “tidak ada bedanya”. Dengan perkataan lain bagi si pemulung tidak ada “biaya kesempatan” (opportunity cost) dari selisih rentang waktu tersebut baginya. Bagi seorang komandan, timing yang tepat yang diperhitungkannya dan yang dimilikinya dalam hitungan detik sekalipun bisa menentukan kemenangan peperangan ataupun keselamatan seluruh pasukannya. Jadi jelaslah waktu menjadi relatif dan “fleksibel” sesuai dengan “siapa’ orang-nya dan “bagaimana tingkat kepentingan” orang itu.


Nah sekarang mari kita ke diskusi yang lebih menarik.: Bagaimana agar waktu kita secara relatif bergeser dari yang bernilai “rendah” ke nilai yang lebih tinggi?

Apakah dengan meminta jatah waktu lebih banyak? (tentu , tidak mungkin). Ataukah apa?

Anda bisa melihat bahwa sebenarnya hukum relatiftas waktu selalu bekerja secara konsisten.

Sederhananya begini , kendati waktu adalah kaku dan tidak dapat dimanipulasi (tak bisa di hentikan, dpercepat ataupun diperlambat) akan tetapi waktu bernilai relatif tidak sama bagi dua orang yang berbeda.

Apa yang membedakan ? Salah satu kata kuncinya adalah Produktifitas manusianya.

Apabila anda, (ya benar, anda!), mampu memanfaatkan jumlah yang sama dari waktu yang ada untuk menghasilkan nilai tambah yang lebih baik dari sebelumnya maka anda sebenarnya telah menaikkan harga relatif waktu anda, alias anda lebih “ber-nilai tambah atau “lebih produktif dibandingkan sebelumnya. (ataupun dibandingkan dengan orang lain?). Bila demikian halnya maka konsep ini bisa pula dinamakan “Hukum Produktifitas Waktu”.

Jadi, bila anda sadar telah memiliki “sumber daya yang langka” yang bernama “waktu”, maka manfaatkanlah dengan se-produktif mungkin. Itu saja, prinsipnya. Selamat memanfaatkan waktu dengan hal-hal yang produktif!

Monday, March 3, 2008

Rule of Balance

Banyak hal dalam hidup kita ini yang merupakan keseimbangan.

Pada kenyataannya esensi kehidupan salah satunya adalah soal keseimbangan.

Kita harus bekerja dan juga beristirahat. Kita harus berusaha dan juga berdoa.

Kita harus bersemangat tinggi tetapi juga pasrah kepada kekuasaan Tuhan.

Kita harus mencari uang dan juga harus mengeluarkan uang.

Nyaman tidaknya kehidupan kita, juga sedikit banyak, dapat dilihat indikasinya dari keseimbangan ini.

Jadi marilah meninjau kembali keseimbangan hidup kita.

Kita Tidak Akan Pernah Mampu Merubah Dunia


Judul di atas terdengar pesimistis? Tidak juga, karena sudut pandang tulisan ini bukan tentang perubahan tetapi lebih kepada bagaimana kita memandang lingkungan kita. Dalam kehidupan kita tidak pernah bisa menghindar dari interaksi dengan orang lain. Kendati kita lahir sendirian (dan meninggalkan dunia ini sendirian pula), kita selalu bertemu dan berurusan dengan orang lain. Mulai dari Ibu yang mengurusi kita, pembantu, teman, atasan, rekan kerja, bawahan dan sebagainya.

Dalam interaksi tersebut selalu ada kondisi yang tidak senantiasa "win-win solution" alias ada saja yang agak dikalahkan atau dimenangkan (tergantung posisi tawar / bargaining posisition masing-masing fihak). Anak kecil akan merengek atau menangis sekerasnya agar permintaannya dipenuhi. Seorang isteri akan merajuk agar kemauannya diperhatikan suami. Sekelompok karyawan melakukan aksi demo untuk menuntut kenaikan upah, dan sebagainya. Singkat kata, semua orang memiliki kebutuhan dan keinginan. Dan semua orang ingin kebutuhan dan keinginannya itu didengar dan dipenuhi.

Dengan demikian akan ada banyak perbedaan kepentingan dan akan timbul sejumlah konflik. Bagaimana kita sebaiknya menyikapi keadaan demikian? Pertama, kita harus mengerti bahwa ada banyak fihak dengan banyak kepentingan. Kedua, kita harus sadar seberapa besar posisi tawar kita. Ketiga, kita harus memiliki teknik dan pendekatan yang tepat untuk memenangkan negosisasi-nya. Dan Keempat (tidak kalah peting), kita harus siap menerima seandainya kebutuhan/keinginan kita tidak dapat dipenuhi.

Bila tidak siap maka kita akan selalu frustrasi. Pada kenyataannya banyak orang yang berpikir bahwa dirinya harus selalu menjadi pusat perhatian. Harus didengar, harus dimengerti. Padahal hal semacam ini hampir tidak mungkin terjadi (kecuali dengan cara paksa). Dan terus terang, ini adalah pola pikir yang cenderung selfish (egoistis).

Dunia (lingkungan sekitar kita) tidak akan pernah mengerti kita hingga kita mampu mengkomunikasikan kebutuhan atau kepentingan kita. Jika kita diam maka tidak ada yang tahu. Jadi adalah kurang bijaksana bila kita berharap semua orang akan mengerti kita. Lebih buruk lagi bila kita berharap bahwa dunia akan berubah demi kepentingan kita. Well, hal semacam itu tidak mungkin terjadi.

Yang ada adalah kita lah yang harus berubah (menyesuaikan diri) dengan dunia. Dimulai dari berkomunikasi, berinteraksi atau berdialog. Barulah pemahaman dan saling pengertian itu bisa terjadi.

Mitos Seputar Perfeksionisme

Bila Wikipedia mendefinisikan perfeksionisme (Perfectionism) sebagai mental disorder atau filsafat yang agak utopis maka saya lebih senang menyederhanakannya menjadi : sebuah disiplin kuat dalam hidup yang ekstra ketat memperdulikan detail dan kelengkapan untuk mencapai hasil yang maksimum.

Memang ada banyak mitos yang beredar di masyarakat seputar "perfectionism" ini. Salah satunya adalah bahwa perfeksionisme dipandang sebagai kelainan kejiwaan yang mengganggu dan menghambat kehidupan individual dan sosial seseorang. Well, tanpa bermaksud menentang pendapat tersebut saya kurang sependapat dengan angapan demikian. Sebagaimana definisi tentang perfeksionisme di atas, saya tidakmengangapnya sebagai penghambat. Sebaliknya, perfeksionisme merupakan agen kemajuan atau faktor pendorong kesuksesan. Perfeksionist biasanya sangat rinci dalam menangani suatu proyek : rinci dalam perencanaan dan sempurna dalam eksekusi atau pelaksanaan. Lantas, apa yang salah dengan itu? Tidakkah kesempurnaan cara kerja dan hasil kerja adalah tujuan semua orang. Tidakkah semua orang mencintai pekerjaan yang "masterpiece" dan memberi kredit yang tinggi terhadap hasil pekerjaan semacam itu?

Tidakkah Tuhan itu sendiri Maha Sempurna dan menuntut kesempurnaan dalam CiptaanNya? So, what's wrong with being perfect? Seorang penulis kondang saja sampai menjuluki bukunya "In Search of Excellence"? Tidakkah semua orang harus sempurna dalam bekerja, beribadah, bergaul, berprestasi, bersekolah,berumah tangga dan berbisnis?

Jadi, sekali lagi apa salahnya dengan menjadi sempurna?

Sunday, March 2, 2008

Out of Focus

Belum lama ini seorang teman mendatangi saya dan "curhat" tentang kegagalan dalam karirnya. Dia telah berpindah-pindah pekerjaan dan bahkan pernah mencoba membuat usaha sendiri tapi semuanya berujung kepada kegagalan dan kerugian. Hal ini benar-benar membuatnya frustrasi. Mirip dengan cerita teman tersebut, salah satu saudara perempuanku pun mengalami hal yang serupa (Are we destined for our failure or success) Tanpa bermaksud untuk menjadi motivator seperti Mario Teguh, saya mengajukan pertanyaan kepadanya, apa hal yang paling mengundang minat atau hasratnya dalam hidup? Dengan naif, teman tersebut menyebutkan beberapa hal, yang katanya adalah "bakat" dan "hasrat"nya. Karena terlalu banyak minat dan bakatnya itu maka saya pertajam lagi pilihannya : diantara semua "hasrat dan minat " tersebut mana yang paling anda kuasai? Dan seperti yang saya duga sebelumnya, teman ini terbata-bata dan tidak mampu menjawabnya. Secara sederhana, dia memiliki keinginan sukses dan memiliki hasrat yang kuat, tetapi masalahnya dia tidak begitu menguasai "apa kekuatan dan apa kelemahannya". Karena begitu banyak yang dicoba (which is mungkin berada di luar zona kemampuannya) maka waktu dan energi nya selama ini hanya dihabiskan dengan upaya uji coba yang tidak efektif. Sebagai buahnya tidak ada pencapaian sebagaimana yang dia inginkan.

Lalu berawal dari pertanyaan bodoh saya tadi, diskusi kami akhirnya terpusat kepada upaya mencari apa sebenarnya keahlian inti (core competence) dari temanku ini. Dari sana kami menggali dan menyusun beberapa peluang dan alternatif yang bisa digarap atau dikejarnya, entah berupa karir di sebuah perusahaan atau bidang usaha yang ingin dia geluti.

Secara sederhana, sang teman ini kini tengah memfokuskan diri kepada "zona keahlian"nya. Intead of trying everything and waste things, he had tried few things and earn things.

Apakah kini dia telah berhasil? Tentu saja tidak semudah itu, tapi paling tidak dia sedang mengarah ke sana.